Judul: Potret Pangan Lokal Masyarakat Tehit Papua Barat Daya
Penulis: Marlina Flassy, M.Hum, Ph.D, Dr. Septinus Saa, M.Si., Dr. Simon Abadi K Frank, M.Si.
Harga: Rp. 100.000,-
ISBN:
Ukuran Buku: 21 x 29 cm
Jumlah Halaman Buku: 99 halaman
Penerbit: Institut Pelatihan, Penelitian dan Penerbitan Emerson (IP3E)
Sinopsis:
Penelitian yang dikemas dalam judul Pangan Lokal Masyarakat Tehit di Papua Barat Daya. Saya akan menguraikan tentang inventarisasi pangan lokal yang dimiliki masyarakat Tehit yang diwariskan nenek moyang mereka. Pangan lokal merupakan kekayaan bangsa yang harus digali dan diselamatkan agar tidak tergerus dan hilang oleh arus globalisasi dan modernisasi di seluruh Indonesia. Masyarakat Papua dan khususnya masyarakat Tehit memiliki kekayaan pangan yang melimpah berupa sumber daya alam yang tersedia di darat dan laut dapat dijadikan sebagai sumber ketahanan pangan seuntuk mencegah terjadinya krisis pangan akibat dari ketergantungan masyarakat akan beras. Kajian menemukakan 51 jenis pangan yang bersumber dari ikan, sebab mereka memiliki pengetahuan lokal yang mampu mengklasifikasi jenis-jenis ikandan undang, kerang-kerangan di laut, juga semua biota laut yang dapat dikonsumsi sebagai sumber protein. Mereka juga mengkonsumsi sumber protein dari hewan-hewan di darat seperti babi, burung, rusa dan sebagainya. Selain itu masyarakat Tehit juga memiliki pengetahuan lokal yang mampu mengklasifikasi varitas sumber pangan yang menghasilkan karbohidarat yang bersumber dari sagu, pisang, umbi-umbian. Mereka mengkonsumsi vitamin yang berasal dari berbagai jenis sayur-mayur serta buah-buahan. Pengetahuan akan pangan lokal yang sangat kaya tersebut hendaknya dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan bangsa, apa lagi ditengah mahalnya pangan inport di saat sulit seperti pasca pandemi covid-19 sehingga masyarakat tidak mengalami krisis pangan di tengah melimpahnya pangan lokal yang melimpah sebagai karunia Tuhan. Gagasan ini juga relevan dengan upaya pemerintah untuk kembali kepada alam, artinya bahwa manusia hendaknya mengarahkan hidupnya kembali kepada alam dengan menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bersifat natural, memelihara lingkungan hidup yang menjadi sumber kehidupan manusia dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Mengingat makna filosofis yang dikenal oleh berbagai suku bangsa di seluruh Tanah Papua, yaitu manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebab memiliki relasi yang kuat dalam kehidupan orang Papua. Menjaga dan melestarikan pangan lokal Tehit sebagai kekayaan budaya Indonesia.
Judul: Meningkatkan Kepekaan Terhadap Kemanusiaan Melalui Berhaji
Editor: Ana Nadhya Abrar
Harga: Gratis
ISBN: 978-623-92019-3-7 (PDF)
Ukuran Buku: 15 x 21,5 cm
Jumlah Halaman Buku: 174 Halaman
Penerbit: Institut Pelatihan, Penelitian dan Penerbitan Emerson (IP3E)
Sinopsis:
Apakah haji? Pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw kemudian menyuruh seseorang untuk mengumumkan bahwa haji adalah wukuf di Arafah (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan wukuf di Arafah merupakan salah satu syarat sah haji. Dalam manasik haji, wukuf disebut salah satu rukun haji. Rukun haji yang lain adalah: ihram, tawaf ifadah, sa’i, cukur dan tertib.
Ketika melaksanakan ibadah haji, jamaah haji Indonesia bertemu dengan jamaah haji dari negara lain dan lapisan masyarakat yang lain pula. Semuanya berpakaian yang sama dan melakukan kesibukan yang sama pula, sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Kendati begitu, tetap saja berhaji merupakan peluang yang bagus untuk menciptakan persaudaraan, mewujudkan kasih sayang, membuka silahturahim dan menciptakan persatuan antar seluruh umat islam di seluruh dunia.
Bertolak dari kenyataan ini, sesungguhnya ketika melaksanakan ibadah haji, para jamaah haji Indonesia sudah menjaga akhlak manusia. Akhlak ini, bila dielaborasi lebih jauh, menjadi: selalu peduli dengan orang lain, menyenangkan orang lain, bermanfaat orang lain, membantu dan mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri. Semua ini menunjukkan, mereka memiliki kepekaan terhadap kemanusiaan.
Maka ketika jamaah haji Indonesia sampai di kampungnya masing-masing, sesungguhnya mereka sudah punya modal dasar untuk menghargai kemanusiaan. Kini saatnya mereka mempraktikannya. Kalau mungkin malah meningkatkannya.
Bergabunglah dengan IP3E dan jadilah bagian dari perubahan menuju masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan mandiri.
Keep up to date — get updates with latest topics